Asbabun Nuzul
19FEB
Al-Qur’an diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar al-Qur’an diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para shahabat bersama Rasulullah saw. telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan terkadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti inilah yang dinamakan Asbabun Nuzul.
Asbabun Nuzul didefinisikan sebagai “sesuatu hal yang karenanya al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum)nya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.
Rasanya suatu hal yang berlebihan bila kita memperluas pengertian asbanun nuzul dengan membentuknya dari berita-berita tentang generasi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. As-Suyuti dan orang-orang yang banyak memperhatikan asbabun nuzul mengatakan bahwa ayat itu tidak turun di saat-saat terjadinya sebab. Ia mengatakan demikian itu karena hendak mengkritik atau membatalkan apa yang dikatakan oleh al-Wahidi dalam menafsirkan surah al-Fiil, bahwa sebab turun surah tersebut adalah kisah datangnya orang-orang Habsyah. Kisah itu sebenarnya sedikitpun tidak termasuk ke dalam asbabun nuzul. Melainkan termasuk kategori berita peristiwa masa lalu, seperti halnya kisah kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, pembangunan Ka’bah dan lain-lain yang serupa dengan itu. Demikian pula mengenai ayat “Dan Allah telah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya” asbabun nuzulnya adalah karena Ibrahim dijadikan kesayangan Allah. Seperti sudah diketahui, hal itu sedikitpun tidak termasuk ke dalam asbabun nuzul.
Setelah diselidiki, asbabun nuzul berkisar pada dua hal:
1. Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat al-Qur’an mengenai peristiwa itu. Hal ini seperti diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, yang mengatakan:
“Ketika turun: Dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat. Nabi pergi dan naik ke bukit Shafa, lalu berseru: ‘Wahai kaumku!’ Maka mereka berkumpul ke dekat Nabi. Ia berkata lagi: ‘Bagaimana pendapatmu bila aku beritahu kepadamu bahwa di balik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa yang aku katakan?’ Mereka menjawab: ‘Kami belum pernah melihat engkau berdusta.’ Dan Nabi pun melanjutkan: ‘Aku memperingatkan kalian tentang siksa yang pedih.’ Ketika itu Abu Lahab lalu berkata: ‘Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?’ Lalu ia berdiri. Maka turunlah surah ini Celakalah kedua tangan Abu Lahab.”
2. Bila Rasulullah ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah binti Tsa’labah dikenakan zihar oleh suaminya, Aus bin Samit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadukan hal itu. ‘Aisyah berkata: “Mahasuci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan Khaulah binti Tsa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Katanya: ‘Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya. Sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu.’” ‘Aisyah berkata: “Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat ini: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni Aus bin Samit.
“Ketika turun: Dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat. Nabi pergi dan naik ke bukit Shafa, lalu berseru: ‘Wahai kaumku!’ Maka mereka berkumpul ke dekat Nabi. Ia berkata lagi: ‘Bagaimana pendapatmu bila aku beritahu kepadamu bahwa di balik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa yang aku katakan?’ Mereka menjawab: ‘Kami belum pernah melihat engkau berdusta.’ Dan Nabi pun melanjutkan: ‘Aku memperingatkan kalian tentang siksa yang pedih.’ Ketika itu Abu Lahab lalu berkata: ‘Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?’ Lalu ia berdiri. Maka turunlah surah ini Celakalah kedua tangan Abu Lahab.”
2. Bila Rasulullah ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah binti Tsa’labah dikenakan zihar oleh suaminya, Aus bin Samit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadukan hal itu. ‘Aisyah berkata: “Mahasuci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan Khaulah binti Tsa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Katanya: ‘Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya. Sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu.’” ‘Aisyah berkata: “Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat ini: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni Aus bin Samit.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al-Qur’an diturunkan karena timbul suatu peristiwa dan kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada di dalam antara ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai aqidah iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al-Ja’bari menyebutkan: “Al-Qur’an diturunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab, dan yang turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan.”
Sebab Nuzul Al-Qur’an
Perlunya Mengetahui Asbabun Nuzul
Perlunya Mengetahui Asbabun Nuzul
Pengetahuan mengenai asbabun nuzul mempunyai beberapa faedah, yang terpenting di antaranya:
1. Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya Allah kepada umat-Nya.
2. Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat bahwa “yang menjadi pegangan adalah sebab khusu dan bukannya lafal yang umum”. Masalah ini sebenarnya merupakan masalah khilafiah, sebagai contoh dapat dikemukakan disini firman Allah:
“ Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang Telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali ‘Imran: 188)
Diriwayatkan bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya: “Pergilah, hai Rafi’, kepada Ibnu ‘Abbas dan katakan kepadanya: ‘Sekiranya setiap orang di antara kita yang bergembira dengan apa yang telah dikerjakan dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum dikerjakannya itu akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa.’” Ibnu ‘Abbas menjawab: “Mengapa engkau berpendapat demikian tentang ayat ini? Ayat ini turun berkenaan dengan ahli kitab.”
Kemudian ia membacakan ayat: dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab… (Ali ‘Imran: 187).” Kata Ibnu ‘Abbas: “Rasulullah menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya, lalu mengambil persoalan lain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah itu mereka pergi, dan menganggap bahwa mereka telah memberitahukan kepada Rasulullah apa yang ditanyakan kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka ingin dipuji oleh Rasulullah dan mereka bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu.”
3. Apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan (dari cakupan lafal yang umum itu), karena masuknya bentuk sebab ke dalam lafal umum itu bersifat qat’i (pasti). Maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad itu bersifat zanni (dugaan). Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama umumnya. Contoh yang demikian digambarkan dalam firman-Nya:
3. Apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan (dari cakupan lafal yang umum itu), karena masuknya bentuk sebab ke dalam lafal umum itu bersifat qat’i (pasti). Maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad itu bersifat zanni (dugaan). Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama umumnya. Contoh yang demikian digambarkan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh (berzina) wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman, mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (an-Nuur: 23-25).
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan ‘Aisyah secara khusus; atau dengan ‘Aisyah dan istri-istri Nabi lainnya. Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, firman Allah “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh (berzina) wanita yang baik-baik” itu turun berkenaan dengan ‘Aisyah secara khusus. Dari Ibnu ‘Abbas pula dan masih mengenai ayat tersebut: “Ayat itu berkenaan dengan ‘Aisyah dan istri-istri Nabi. Allah tidak menerima tobat orang yang melakukan hal itu (menuduh mereka berzina) dan menerima tobat orang yang menuduh seorang perempuan di antara perempuan-perempuan beriman selain istri-istri Nabi.” Kemudian Ibnu ‘Abbas membacakan: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik..” sampai dengan “…kecuali orang-orang yang bertaubat.” (an-Nuur: 4-5).
Atas dasar ini, maka penerimaan tobat orang yang menuduh zina (sebagaimana dinyatakan dalam surah an-Nuur: 4-5 ini, sekalipun merupakan pengkhususan dari keumuman firman Allah “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh (berzina) wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman”, tidaklah mencakup- dan pengkhususan ini- orang yang menuduh ‘Aisyah atau isti-istri Nabi yang lain. Karena yang terakhir ini tidak ada tobatnya, mengingat masuknya sebab (yakni orang yang menuduh ‘Aisyah atau istri-istri Nabi) ke dalam cakupan makna lafal yang umum itu bersifat qat’i (pasti).
4. Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna al-Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. Al-Wahidi menjelaskan: “Tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya.” Ibnu Daqiqil ‘Id berpendapat: “Mengetahui sebab nuzul akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab menimbulkan pengetahuan mengenai musabab (akibat).”
Contohnya antara lain, kesulitan Marwan bin al-Hakam dalam memahami ayat yang disebutkan di atas, “ Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang Telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali ‘Imran: 188) sampai Ibnu ‘Abbas menjelaskan kepadanya sebab nuzul ayat itu.
Contoh lain ialah ayat:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 158)
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 158)
Lafal ayat ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa’i itu wajib, sebab ketiadaan dosa untuk mengerjakannya itu menunjukkan “kebolehan” dan bukannya “kewajiban”. Sebagian ulama juga berpendapat demikian, karena berpegang pada arti tekstual ayat itu*. ‘Aisyah telah menolak pemahaman ‘Urwah Ibnu Jubair seperti itu dengan sebab nuzul ayat tersebut, yaitu bahwa para sahabat merasa keberatan bersa’i antara Safa dan Marwa karena perbuatan itu berasal dari perbuatan jahiliyah. Di Safa terdapat “Isaf” dan di Marwa terdapat “Na’ilah”. Keduanya adalah berhala yang biasa diusap orang jahiliyah ketika mengerjakan sa’i. Sumber dari ‘Aisyah menyebutkan bahwa ‘Urwah berkata kepadanya: “Bagaimana pendapatmu mengenai firman Allah: ‘Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.?’ Aku sendiri tidak berpendapat bahwa seseorang itu berdosa bila tidak melakukan sa’i itu.” ‘Aisyah menjawab: “Alangkah buruknya pendapatmu itu, wahai anak saudaraku. Sekiranya maksud ayat itu seperti yang engkau takwilkan, niscaya ayat itu berbunyi: ‘tidak ada dosa bagi orang yang tidak melakukan sa’i.’ Tetapi ayat itu turun karena orang-orang Anshar sebelum masuk Islam mendatangi ‘Manat’ yang zalim itu dan menyembahnya. Orang yang dulu menyembahnya tentu keberatan untuk bersa’i di antara Safa dan Marwa. Maka Allah menurunkan: “Sesungguhnya Safa dan Marwa…”, kata ‘Aisyah: “Selain itu, Rasulullah pun telah menjelaskan sa’i di antara keduanya. Maka tak seorangpun dapat meninggalkan sa’i di antara keduanya.”
5. Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan. Seperti disebutkan mengenai firman Allah:
“Dan orang yang Berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa Aku akan dibangkitkan, padahal sungguh Telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: “Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar”. lalu dia berkata: “Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka”.”
(al-Ahqaf: 17)
(al-Ahqaf: 17)
Mu’awiyah bermaksud mengangkat Yazid menjadi khalifah, dan ia mengirim surat kepada Marwan, gubernur di Madinah, mengenai hal itu. Karena itu Marwan lalu mengumpulkan rakyat kemudian berpidato dan mengajak mereka membaiat Yazid. Tetapi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr tidak mau membaiatnya. Maka hampir saja Marwan melakukan hal tidak terpuji kepada ‘Abdurrahman bin Abu Bakr sekiranya ia tidak segera masuk ke rumah ‘Aisyah. Marwan berkata: “Orang inilah yang dimaksud ayat: ‘Dan orang yang Berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa Aku akan dibangkitkan, padahal sungguh Telah berlalu beberapa umat sebelumku?’” ‘Aisyah menolak/ membantah pendapat Marwan tersebut dan menjelaskan sebab turunnya.
Riwayat Yusuf bin Mahik, menyebutkan: “Marwan berada di Hijaz. Ia telah diangkat menjadi gubernur oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan, lalu berpidatolah ia. Dalam pidatonya itu ia menyebutkan nama Yazid bin Mu’awiyah agar dibaiat sesudah ayahnya. Ketika itu ‘Abdurrahman bin Abu Bakr mengatakan sesuatu. Lalu kata Marwan: ‘Tangkaplah dia’. Kemudian ‘Abdurrahman masuk ke rumah ‘Aisyah sehingga mereka tidak bisa menangkapnya. Kata Marwan: ‘Itulah orang yang menjadi kasus sehingga Allah menurunkan ayat: ‘Dan orang yang Berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu berdua’. Kata ‘Aisyah: ‘Allah tidak pernah menurunkan sesuatu ayat al-Qur’an mengenai kasus seseorang di antara kami kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat. Dan dalam beberapa riwayat dinyatakan: ‘Bahwa ketika Marwan meminta agar Yazid dibaiat, ia berkata: ‘(Pembaiatan ini adalah) tradisi Abu Bakr dan ‘Umar.’ ‘Abdurrahman berkata: ‘Tradisi Hercules dan Kaisar.’ Maka kata Marwan: ‘Inilah orang yang dikatakan Allah di dalam al-Qur’an, ‘Dan orang yang Berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya… kemudian perkataan Marwan demikian itu sampai kepada ‘Aisyah, maka kata ‘Aisyah: ‘Marwan telah berdusta. Demi Allah, maksud ayat itu tidaklah demikian. Sekiranya aku mau menyebutkan mengenai siapa ayat itu turun, tentu aku sudah menyebutkannya.’”
Sebab Nuzul Al-Qur’an
Yang Menjadi Pegangan adalah Lafal yang Umum, bukan Sebab yang Khusus
Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai dengan sebab secara khusu, maka yang umum (‘amm) diterapkan pada keumumannya dan yang khusus (khass) pada kekhususannya. Contoh yang pertama adalah firman Allah:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(al-Baqarah: 222)
(al-Baqarah: 222)
Anas berkata: “Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haid… Kemudian kata Rasulullah: jaami’uu hunna fil buyuuti, washna’uu kulla syai-in illan nikaah (bersama-samalah dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya).
Contoh kedua ialah firman-Nya:
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.”
(al-Lail: 17-21)
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.”
(al-Lail: 17-21)
Ayat-ayat di atas diturunkan mengenai Abu Bakr. Kata al-atqa (orang yang paling takwa) menurut tasrif berbentuk af’al untuk menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-‘adiyah (kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Kata sandang “al” menunjukkan arti umum bila ia berfungsi sebagai kata ganti penghubung (isim mausul) atau mu’arrifah (berfungsi memakrifatkan) bagi kata jamak, menurut pendapat yang kuat. Sedang ‘al’ dalam kata ‘al-atqa’ bukan kata ganti penghubung, sebab kata ganti penghubung tidak dirangkaikan dengan bentuk superlatif; lagipula ‘al-atqa’ bukan kata jamak, melainkan kata tunggal. Al-‘ahdu atau apa yang telah diketahui itu sendiri sudah ada, di samping bentuk superlatif af’al itu khusus menunjukkan yang membedakan. Dengan demikian, hal ini telah cukup untuk membatasi makna ayat pada orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab itu, al-Wahidi berkata: “Al-atqa adalah Abu Bakr ash-Shiddiq menurut pendapat para ahli tafsir.”
Menurut ‘Urwah, Abu Bakr telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama Allah: Bilal, ‘Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan anak permpuannya, Umm ‘Isa dan budak perempuan Bani Mau’il. Untuk itu turunlah ayat “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa itu dari neraka” sampai dengan akhir surah (hadits riwayat Ibn Abi Hatim).
Hal yang serupa diriwayatkan dari ‘Amr bin Abdullah bin Zubair, yang menambahkan: “Maka berkenaan dengan Abu Bakr tersebut turunlah ayat ini (Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa) sampai dengan (padahal tidak ada seorang pun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya; tetapi ia memberikan itu semua semata-mata karena mencari keridlaan Tuhannya Yang Mahatinggi; dan kelak benar-benar ia mendapatkan kepuasannya) (Hadist riwayat al-Hakim dan dishahihkannya pula).”
Jika sebab itu khusu, sedang ayat yang turun berbentuk umum, maka para ahli usuh berselisih pendapat: yang dijadikan pegangan itu lafal yang umum ataukah sebab yang khusus.
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusu sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Misalnya ayat “li’aan” yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya.
“Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umayah menuduh istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma’ di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata: ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: ‘Wahai Rasulallah, apabila salah seorang di antara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya; apakah ia harus mencari bukti?’ Rasulullah menjawab: ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: ‘Demi Yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.’ Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi: (Dan orang-orang yang menuduh istrinya) sampai dengan (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar) (an-Nuur: 6-9).
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusu sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Misalnya ayat “li’aan” yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya.
“Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umayah menuduh istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma’ di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata: ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: ‘Wahai Rasulallah, apabila salah seorang di antara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya; apakah ia harus mencari bukti?’ Rasulullah menjawab: ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: ‘Demi Yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.’ Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi: (Dan orang-orang yang menuduh istrinya) sampai dengan (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar) (an-Nuur: 6-9).
Hukum yang diambil dari lafal umum ini (Dan orang-orang yang menuduh istrinya) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain.
Inilah pendapat yang kuat dan paling shahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman (universalitas) hukum-hukum syariat. Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para shahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat-ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer di kalangan para ahli. Ibnu Taimiyah berkata: “Hal yang demikian ini sering kali terjadi. Dan termasuk ke dalam bab ini adalah ucapan mereka: Ayat ini diturunkan dalam hal seperti ini; khususnya apabila yang disebutkan itu orang tertentu. Seperti ucapan mereka: ayat zihar itu turun mengenai istri Aus bin Samit; dan ayat kalalah turun mengenai Jabir bin ‘Abdullah; dan firman-Nya (dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka) (al-Maidah: 49) turun mengenai Bani Quraizah dan Bani Nadlir.
Inilah pendapat yang kuat dan paling shahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman (universalitas) hukum-hukum syariat. Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para shahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat-ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer di kalangan para ahli. Ibnu Taimiyah berkata: “Hal yang demikian ini sering kali terjadi. Dan termasuk ke dalam bab ini adalah ucapan mereka: Ayat ini diturunkan dalam hal seperti ini; khususnya apabila yang disebutkan itu orang tertentu. Seperti ucapan mereka: ayat zihar itu turun mengenai istri Aus bin Samit; dan ayat kalalah turun mengenai Jabir bin ‘Abdullah; dan firman-Nya (dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka) (al-Maidah: 49) turun mengenai Bani Quraizah dan Bani Nadlir.
Begitu pula mereka menyebutkan bahwa ayat ini turun mengenai kaum musyrikin Mekah, atau kaum Yahudi dan Nasrani, atau kaum yang beriman. Pernyataan ini tidak dimaksudkan bahwa hukum ayat-ayat tersebut hanya berlaku khusus bagi orang-orang itu dan tidak berlaku bagi orang lain. Hal sedemikian sama sekali tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim atau orang yang berakal. Sebab, sekalipun mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang lafal umum yang turun berdasarkan sesuatu sebab, adakah lafal umum itu hanya berlaku khusus bagi sebab turunnya itu? Tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang mengatakan bahwa keumuman kitab dan sunah itu dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Yang mereka katakan ialah: Ayat yang umum itu khusus mengenai ‘jenis’ perkara orang tersebut, sehingga berlaku umum bagi khusus yang serupa dengannya. Keumuman ayat tidak hanya didasarkan pada keumuman lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu, bila berupa perintah atau larangan, berlaku bagi orang (sebab) tertentu, dan orang lain yang kedudukan sama dengannya. Apabila ayat itu berisi pujian atau celaan, maka pujian dan celaan itu ditujukan kepada orang tersebut dan orang lain yang sama kedudukannya.”
2. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab khusus, bukan lafal umum; karena lafal umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti kias dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
2. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab khusus, bukan lafal umum; karena lafal umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti kias dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
Sebab Nuzul Ayat Al-Qur’an
Redaksi Sebab Nuzul
Redaksi Sebab Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan: “Sebab nuzul ayat ini adalah begini.” Atau menggunakan “fa ta’qiibiyah” (kira-kira seperti ‘maka’ yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya, ia mengatakan: hadatsa haadzaa (telah terjadi peristiwa begini), atau su-ila rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama ‘an kadzaa fanazzalatil aayah (Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini). Dengan demikian, kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab.
Bentuk kedua, yaitu redaksi yang bolehjadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan: nazzalat haadzihil aayatu fii kadzaa (ayat ini turun mengenai ini). Yang dimaksud dengan ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut.
Demikian juga bila ia mengatakan: ahsibu haadzihil aayata nazzalat fii kadzaa (aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini) atau: maa ahsibu haadzihil aayata nazzalat lillaa fii kadzaa (aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini). Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan sebab nuzul dan mungkin menunjukkan lain. Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, yang mengatakan: unzilat [nisaa-ukum hartsul lakum] al-aayatu fii ityaanin nisaa-i fii adbaarihinn ([ayat istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam] [al-Baqarah: 223] turun berhubungan dengan masalah menggauli istri dari belakang).
Contoh kedua adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang pernah ikut perang Badr bersama Nabi, di hadapan Rasulullah tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi; keduanya mengairi kebun kurma masing-masing dari situ. Orang Anshar berkata: “Biarkan airnya mengalir.” Tetapi Zubair menolak. Maka kata Rasulullah: “Airi kebunmu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu.” Orang Anshar itu marah, katanya: “Rasulullah, apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat demikian?” Wajah Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia berkata: “Airi kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu biarkan ia mengalir ke kebun tentanggamu.” Rasulullah dengan keputusan itu telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu ia mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang Anshar itu. Ketika Rasulullah marah kepada orang Anshar, ia memenuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair: “Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut: (Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan) (an-Nisaa’: 65) (hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i, Ibn Majah dan yang lain).
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ucapan mereka bahwa ‘ayat ini turun mengenai urusan ini’, terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai sebab nuzul, dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan itu termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada sebab nuzulnya. Para ulama berselisih pendapat mengenai ucapan shahabat: ‘Ayat ini turun mengenai urusan ini’; apakah ucapan seperti itu berlaku sebagai hadits musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir dari shahabat itu sendiri atau musnad? Al-Bukhari memasukkannya ke dalam kategori hadits musnad, sedang yang lain tidak dimasukkannya. Dan sebagian besar hadits musnad itu menurut istilah atau pengertian ini, seperti musnad Ahmad dan lain-lain. Berbeda halnya bila shahabat menyebutkan sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat. Bila demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan seperti ini ke dalam hadits musnad. Zarkasyi dalam al-Burhaan menyebutkan: “Telah diketahui dari kebiasaan para shahabat dan tabi’in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata: ‘Ayat ini turun mengenai urusan ini, maka yang dimaksud ialah bahwa ayat itu mengandung hukum urusan tersebut; bukannya urusan itu sebagai sebab penurunan ayat. Padahal shahabat ini termasuk ke dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat. Bukan jenis pemberitaan mengenai suatu kenyataan yang terjadi.
Yang dimaksud dengan isnad atau hadits musnad di sini ialah bahwa ia disandarkan kepada Rasulullah, yakni statusnya sama dengan hadist marfu’. Sekalipun ia ucapan shahabat; sebab dalam hal seperti ini tidak ada tempat untuk ijtihad.
Sebab Nuzul Ayat Al-Qur’an
Beberapa Riwayat Mengenai Asbabun Nuzul
Beberapa Riwayat Mengenai Asbabun Nuzul
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam hal demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”. Maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu; sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”; sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang sebab nuzul firman Allah:
“ Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (al-Baqarah: 223)
Dari Nafi’ disebutkan: “Pada suatu hari aku membaca (Isteri-isterimu adalah [seperti] tanah tempat kamu bercocok tanam), maka kata Ibnu ‘Umar: ‘Tahukah engkau mengenai apa ayat ini turun?” aku menjawab: ‘Tidak.’ Ia berkata: ‘Ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi istri dari belakang.’” (hadits riwayat Bukhari dan lainnya). Bentuk riwayat dari Ibnu ‘Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan: “Orang-orang Yahudi berkata: ‘Apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata juling.’ Maka turunlah ayat (Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki)”, (hadits riwayat al-Bukhari, ‘Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah dan yang lain). Maka hadits dari Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedang ucapan Ibnu ‘Umar, tidaklah demikian; karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat di antaranya shahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan ahli hadits lainnya, dari Jundub al-Bajali: “Nabi menderita sakit, hingga dua atau tiga malam tidak bangun malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata: ‘Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu.’ Maka Allah menurunkan firman ini “Demi waktu dluha; dan demi malam apabila telah sunyi; Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu.”
Sementara itu Tabarani dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya, dari budak perempuan pembantu Rasulullah: “Bahwa seekor anak anjing telah masuk ke dalam rumah Nabi, lalu masuk ke kolong tempat tidur dan mati. Karenanya selama empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata: ‘Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rasulullah ini? Sehingga Jibril tidak datang kepadaku.’ Dalam hati aku berkata: ‘Alangkah baiknya andai aku membenahi rumah ini dan menyapunya.’ Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak anjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya tergetar. Apabila turun wahyu kepadanya ia tergetar. Maka Allah menurunkan (Demi waktu dluha) sampai dengan (lalu hatimu menjadi puas).”
Ibnu Hajar dalam Syarah Bukhari berkata: “Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing itu cukup masyur. Tetapi bahwa kisah itu dijadikan sebab turun ayat adalah suatu hal yang ganjil (gharib). Dalam isnad hadits itu terdapat orang yang tidak dikenal. Maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim.
4. Apabila riwayat itu sama-sama shahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. Contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Aku berjalan dengan Nabi di Madinah. Ia berpegang pada tongkat dari pelepah pohon kurma. Dan ketika melewati serombongan orang-orang Yahudi, seseorang di antara mereka berkata: ‘Coba kamu tanyakan sesuatu padanya.’ Lalu mereka menanyakan: ‘Ceritakan kepada kami tentang ruh.’ Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu tengah turun kepadanya. Wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia berkata: (“Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit).” (al-Isra’: 85).
Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi: ‘Berikan kami suatu persoalan untuk kami tanyakan kepada orang ini (Muhammad).’ Mereka menjawab: ‘Tanyakan kepadanya tentang ruh.’ Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: (Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah ruh itu termasuk urusan Tuhanku).”
Riwayat ini memberi kesan bahwa ayat ini turun di Mekah, tempat adanya kaum Quraisy. Sedang riwayat pertama memberi kesan turun di Madinah. Riwayat pertama dikukuhkan karena Ibnu Mas’ud hadir dalam atau menyaksikan kisah tersebut. Di samping itu umat juga telah terbiasa untuk lebih menerima hadits shahih Bukhari dan memandangnya lebih kuat dari hadits shahih yang dinyatakan oleh lainnya.
Zarkasyi berpendapat, contoh seperti ini termasuk ke dalam bab “banyak dan berulangnya nuzul”. Dengan demikian, ayat di atas turun dua kali, sekali di Mekah dan sekali di Madinah. Dan yang menjadi sandaran untuk hal ini adalah bahwa surah ‘Subhaana’ atau al-Israa’ adalah Makki menurut kesepakatan.
Mannaa’ Khalil al-Qattaan berpendapat, kalaupun surah itu Makki sifatnya, namun tidak dapat ditolak apabila satu ayat atau lebih dari surah tersebut itu Madani. Apa yang diriwayatkan al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud di atas menunjukkan bahwa ayat ini (katakanlah: ruh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit) adalah Madani. Karena itu pendapat yang dipilih Mannaa’ Khalil al-Qattaan adalah menguatkan (tarjih) riwayat Ibnu Mas’ud atas riwayat Tirmidzi dan Ibnu ‘Abbas, lebih baik daripada memvonis ayat tersebut dengan banyak dan berulangnya nuzul. Sekiranya benar bahwa ayat tersebut Makki dan diturunkan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, maka pengulangan pertanyaan yang sama di Madinah tidak menuntut penurunan wahyu dengan jawaban yang sama pula, sekali lagi. Tetapi yang dituntut adalah agar Rasulullah menjawabnya dengan jawaban yang telah turun sebelumnya.
Sebab Nuzul Ayat Al-Qur’an
5. Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab-sebab itu berdekatan. Misalnya, ayat “li’aan” (“dan orang-orang yang menuduh istrinya berbuat zina…[an-Nuur: 6-9]). Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh istrinya telah berbuat serong dengan Syuraik bin Sahma’, di hadapan Nabi, seperti telah disebutkan di atas.
Diriwayatkan oleh oleh Bukhari, Muslim dan yang lain, dari Sahl bin Sa’d: “’Uwaimir datang kepada ‘Asim bin ‘Adi, lalu berkata: ‘Tanyakan kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama-sama dengan laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya sehingga ia diqishas atau apakah yang harus dilakukannya…?’” Kedua riwayat ini dapat dipadukan, yaitu bahwa peristiwa Hilal terjadi lebih dulu, dan kebetulan pula ‘Uwaimir mengalami kejadian serupa; maka turunlah ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah kedua peristiwa tadi. Ibnu Hajar berkata: “Banyaknya sebab nuzul itu tiak menjadi soal.”
6. Bila riwayat-riwayat itu tidak dapat dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa kepada atau dipandang sebagai banyak dan berulangnya nuzul. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan al-Musayyab, ia berkata:
“Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah menemuinya. Dan di sebelahnya (Abu Thalib) ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah. Maka kata Nabi: ‘Pamanda, ucapkanlah “laa ilaaha illalaah”. Karena dengan kalimat itu kelak aku dapat memintakan keringanan bagi paman di sisi Allah.’ Abu Jahal dan Abdullah berkata: ‘Abu Thalib, apakah engkau sudah tidak menyukai agama ‘Abdul Muththalib?’ Kedua orang itu terus bicara kepada Abu Thalib sehingga masing-masing mengatakan bahwa ia tetap dalam agama Abdul Muththalib. Maka kata Nabi: ‘Aku tetap akan memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang untuk berbuat demikian.’ Maka turunlah ayat: “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik..[at-Taubah: 113].”
“Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah menemuinya. Dan di sebelahnya (Abu Thalib) ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah. Maka kata Nabi: ‘Pamanda, ucapkanlah “laa ilaaha illalaah”. Karena dengan kalimat itu kelak aku dapat memintakan keringanan bagi paman di sisi Allah.’ Abu Jahal dan Abdullah berkata: ‘Abu Thalib, apakah engkau sudah tidak menyukai agama ‘Abdul Muththalib?’ Kedua orang itu terus bicara kepada Abu Thalib sehingga masing-masing mengatakan bahwa ia tetap dalam agama Abdul Muththalib. Maka kata Nabi: ‘Aku tetap akan memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang untuk berbuat demikian.’ Maka turunlah ayat: “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik..[at-Taubah: 113].”
At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Ali yang mengatakan: “Aku mendengar seorang laki-laki meminta ampunan untuk kedua orang tuanya, sedang keduanya itu musyrik. Lalu aku katakan kepadanya: ‘Apakah engkau memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu, sedang mereka itu musyrik?’ Ia menjawab, ‘Ibrahim telah memintakan ampunan untuk ayahnya, sedang ayahnya juga musyrik.’ Lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah, maka turunlah ayat tadi.
Diriwayatkan oleh Hakim dan yang lain, dari Ibnu Mas’ud, yang mengatakan: “Pada suatu hari Rasulullah pergi ke kuburan, lalu duduk di dekat salah satu makam. Ia bermunajab cukup lama, lalu menangis. Katanya: “Makam di mana aku duduk di sisinya adalah makam ibuku. Aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk mendoakannya, tetapi Dia tidak mengizinkan, lalu diturunkan wahyu kepadaku: (Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik).”
Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan (dinyatakan sebagai) berulang kalinya nuzul (maksudnnya, kita memandang bahwa ayat itu, at-Taubah: 113, diturunkansampai berulang kali, Mannaa’ al-Qattan.
Contoh lain ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi berdiri di sisi jenazah Hamzah yang mati syahid dengan dianiaya, maka kata Nabi: “Akan kuaniaya tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan untukmu.” Maka Jibril turun dengan membawa akhir surah an-Nahl kepada Nabi, sementara ia dalam keadaan berdiri: (Jika kamu mengadakan pembalasan, maka balaslah dengan pembalasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu..) (an-Nahl: 126-128) sampai akhir surah. Riwayat ini menunjukkan bahwa ayat-ayat di atas turun pada waktu perang Uhud. (diriwayatkan oleh Baihaqi dan al-Bazzar dari Abu Hurairah).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim dari Ubay bin Ka’b disebutkan bahwa ayat-ayat tersebut turun pada waktu penaklukan kota Mekah. Padalah surah tersebut adalah Makki. Maka mengompromikan antara riwayat-riwayat itu ialah dengan menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut turun di Mekah sebelum hijrah, lalu di Uhud dan kemudian turun lagi saat penaklukan Mekah. Tidak ada salahnya bagi hal yang demikian mengingat dalam ayat-ayat tersebut terdapat peringatan akan nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan adanya syariat. Az-Zarkasy dalam “al-Burhan” mengatakan: “Terkadang suatu ayat turun dua kali sebagai penghormatan kepada kebesaran dan peringatan akan peristiwa yang menyebabkannya, khawatir terlupakan. Sebagaimana terjadi pada surah Fatihah yang turun dua kali: sekali di Mekah dan sekali lagi di Madinah.”
Demikian sikap dan pendapat para ulama ahli dalam bidang ini mengenai riwayat-riwayat sebab nuzul suatu ayat, bahwa ayat itu diturunkan beberapa kali. Tetapi menurut Mannaa’ al-Qattan pendapat tersebut tidak atau kurang memiliki nilai positif mengingat hikmah berulangkalinya turun suatu ayat itu tidak begitu nampak dengan jelas. Pendapatnya mengenai permasalahan ini ialah bahwa riwayat yang bermacam-macam mengenai asbabun nuzul dan tidak mungkin dipadukan itu sebenarnya dapat ditarjihkan (dikuatkan) salah satunya. Misalnya, riwayat-riwayat yang berkenaan dengan sebab nuzul firman Allah: “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik..[at-Taubah: 113].” Riwayat pertama dinilai lebih kuat dari kedua riwayat lainnya; sebab ia terdapat dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim, sedang kedua riwayat lainnya tidak. Dan periwayatan kedua tokoh hadits ini lebih kuat untuk dijadikan pegangan. Maka pendapat yang kuat adalah bahwa ayat itu turun berkenaan dengan Abu Thalib. Begitu pula halnya dengan riwayat-riwayat sebab nuzul akhir surah an-Nahl. Riwayat-riwayat itu tidak sama derajatnya. Maka mengambil riwayat paling kuat adalah lebih baik daripada menyatakan, ayat ini diturunkan berulang kali.
Ringkasnya, bila sebab nuzul suatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedanmg sebagian lainnnya tegas dalam menunjukkan sebab.
a. Apabila semuanya tidak tegaas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat.
b. Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas.
c. Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya shahih atau semuanya shahih. Apabila salah satunya shahih sedang yang lainnya tidak, maka yang shahih itulah yang menjadi pegangan.
d. Apabila semuanya shahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
e. Bila tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin.
f. Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang. Dalam bagian yang terakhir ini terdapat pembahasan; karena dalam setiap riwayat terdapat keterangan.
a. Apabila semuanya tidak tegaas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat.
b. Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas.
c. Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya shahih atau semuanya shahih. Apabila salah satunya shahih sedang yang lainnya tidak, maka yang shahih itulah yang menjadi pegangan.
d. Apabila semuanya shahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
e. Bila tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin.
f. Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang. Dalam bagian yang terakhir ini terdapat pembahasan; karena dalam setiap riwayat terdapat keterangan.
No comments:
Post a Comment