ASBABUN NUZUL SURAH 2 – AL BAQARAH AYAT 221
TURUNNYA SURAH
2 – AL BAQARAH AYAT 221
Kisah Abdullah
ibn Ruwahah yang tidak henti-hentinya mencari Allah hingga menikah dengan budak
negro yang muslim.
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”. ~ QS 2 – Al
Baqarah : 221 ~
Adalah
seorang penyair ulung yang tinggal di Yatsrib (Madinah Al Munawarah) bernama
Abdullah ibn Ruwahah, semasa Islam belum masuk ke Madinah dia sering merenung
menatap matahari, bulan, bintang yang beredar mengikuti pergantian dan malam.
‘Siapakah yang menciptakan semua ini...? Sedangkan berhala-berhala yang
penduduk Madinah sembah adalah barang mati yang tidak bisa apa-apa’.
Begitu
mendengar berita dari para kafilah bahwa di Mekkah ada seorang utusan Tuhan
yang menyeru manusia untuk menyembah Allah. Tuhan Yang Maha Esa, maka ia
bersama teman-temannya yang meyakini utusan ini berangkat ke Mekkah untuk
menemuinya. Setelah bertemu dengan Rasulullah di Mekkah, mereka di bai’at di
depan Aqobah untuk masuk Islam, berjanji akan melindungi Rasulullah dan ikut
menyebarkan agama Islam.
Pada
saat Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah, Abdullah ibn Ruwahah ikut
menyambutnya, menemani Rasulullah menyelusuri jalan-jalan di Yatsrib. Dia juga
ikut mendirikan masjid secara bergotong royong dan setelah selesai Bilal
mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya diimami oleh Rasulullah.
Suatu
hari Abdullah ibn Ruwahah datang menghadap Rasulullah menyatakan bahwa dia
sangat menyesal telah memaki bahkan meludahi budak hitam wanita miliknya,
karena melakukan kesalahan. Sungguh Abdullah merasa menyesal telah melakukan
itu dan berharap budaknya mau memaafkannya.
Rasulullah
berkata: ‘Apakah agama budakmu itu...?’
Abdullah
menjawab: ‘Dia telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ia mendirikan
shalat, berwudhu dengan baik dan berpuasa...’
Rasulullah
ingin menegaskan bahwa dalam Islam, kedudukan seorang budak sebagai manusia
sama dengan manusia yang lain: ‘Wahai Abdullah... budakmu itu seorang
Mukmin...’
Allah
membukakan hati Abdullah ibn Ruwahah sehingga dia menyadari bahwa sebenarnya
dia mencintai, menyayangi budak negro itu yang disifati Rasulullah sebagai
wanita mukmin yang harus dilindungi dan dimuliakan. Maka tanpa ragu-ragu lagi
dia berkata: ‘Wahai Rasulullah, demi Dzat yang mengutusmu dengan hak sebagai
Nabi, sungguh aku akan memerdekakan dan menikahinya...’. Dia lalu bergegas
menemui budaknya untuk minta maaf, memerdekakannya dan menikahinya.
Kejadian
ini tentu saja membuat heran dan mengejutkan para sahabatnya, bagaimana mungkin
seorang pemimpin suku yang dipilih sebagai utusan pada hari Aqobah menikahi
seorang budak negro... Sungguh tidak sepadan dengan kedudukannya yang mulia.
Sebenarnya ia dapat saja menikahi seorang wanita mulia dari kaumnya, meskipun
bukan seorang Muslimah.
Allah
Subhanahu wa ta’ala berkehendak mengungkapkan kebenaran, sehingga Dia
menurunkan ayat Al Qur’an kepada Rasulullah sebagai berikut:
“Wa
laa tankihul musyrikaati hattaayu’minn. Wala amatummu’minatun khairum
mimmusyrikatiw walau a’jabatkum. Ulaaika yad’uuna ilannaar. Wallaahu yad’uu
ilaljannati walmaghfirati bi idznih. Wa yubayyinu aayaatihii linnaasi
la’allahum yatadzakkaruu”.
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”. ~ QS 2 – Al
Baqarah : 221 ~
Komunitas
Madinah semakin kokoh dan mulia berkat kemuliaan Islam, namun demikian gangguan
dari kaum munafik dan Yahudi tetap saja terjadi. Untuk ketentraman komunitas
Madinah, Rasulullah membuat perjanjian dengan kaum Yahudi untuk hidup
berdampingan dengan kaum Muslim. Namun kaum Yahudi telah menghianati perjanjian
ini bahkan menantang kaum Muslim. Mereka tidak suka Islam berkembang di Madinah
maupun di jazirah Arab bahkan mereka bersekongkol dengan kaum Musyrikin Mekkah
untuk bersama-sama menyerang kaum Muslim.
Allah
SWT menyikapi sifat-sifat kaum Yahudi ini dengan turunnya ayat dalam Al Qur’an:
“Ulaaikalladziina
la’anahumullaahu fa ashammahum wa a’maa abshaa rahum”
“Mereka
itulah orang-orang yang dila’nati (dikutuk) Allah dan ditulikan-Nya telinga
mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”. ~ QS 47 – Muhammad : 23 ~
Abdullah
ibn Ruwahah dapat merasakan kesedihan saudara-saudaranya kaum Muhajirin yang
ditindas, disiksa, dirampas hartanya oleh kaum Quraisy. Mereka berhak untuk
membalasnya.
Pada
suatu hari terjadilah pertengkaran antara 3 orang kafilah dagang Quraisy dengan
kaum Muhajirin dan perkelahian inilah yang memicu terjadinya Perang Badar.
Abdullah ibn Ruwahah merasa terpanggil dan berkewajiban untuk membantu
membalaskan saudara-saudara kaum Muhajirin yang telah disakiti dan terusir dari
Mekkah. Dengan dibantu 2 orang Anshar dia mengajak berduel ketiga kafilah
Quraisy itu, namun mereka menolaknya dan hanya mau berduel dengan kaum
Muhajirin.
‘Wahai
Muhammad, perintahkanlah tiga orang kaum Muhajirin yang pantas menghadapi kami...!’.
Mendengar
tantangan itu majulah Hamzah ibn Abdul Muthalib (paman Rasulullah), Ali ibn Abi
Thalib dan Ubaidah ibn Harits. Dari duel itu ketiga kafilah mati namun Ubaidah
terluka.
Merasa
teman-temannya mati terbunuh dalam duel, berangkatlah pasukan kafir Quraisy,
termasuk Abdurrahman putera dari Abu Bakar Ash Shiddiq untuk mengajak pasukan
Muslim berperang, inilah Perang Badar terjadi dengan kemenangan di pihak kaum
Muslim.
Abdullah
ibn Ruwahah sangat mencintai Rasulullah, ta’at akan perintah Allah dan RasulNya
serta dia adalah seorang pejuang Muslim yang berperang membela Islam dengan
gagah berani. Ia benar-benar ikhlas berjihad di jalan Allah. Dia mati syahid
bersama dengan Zaid ibn Haritsah dan Ja’far ibn Abi Thalib pada perang melawan
tentara Romawi. Semoga Allah merahmatinya.
Bekasi, 22 Jumadil Awal 1436 Hijriyah atau 13 Maret 2015.
Edited and posted by: Rika Rakasih
Sumber : Kitab Asbabun Nuzul
Penulis : Fathi Fauzi Abd Al Mu’thi
Disarikan oleh : Idih Ruskanda
Thema : Al Baqarah (2) - Ayat 221 - Abdullah ibn Ruwahah tidak henti-hentinya mencari Allah hingga menikah
dengan budak negro yang muslimMonday, April 6, 2015
ASBABUN NUZUL SURAH 33 – AL AHZAB AYAT 36, 37, 53
TURUNNYA SURAH
33 – AL AHZAB AYAT 36, 37, 53
Kisah Pernikahan Rasulullah dengan
Zainab yang diatur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan ni’mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni’mat kepadanya:
‘Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah’, sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila
anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. ~ QS 33 – Al Ahzab : 37 ~
Zaid ibn Haritsah adalah budak milik Siti Khadijah yang dihibahkan kepada
Rasulullah dan selanjutnya diangkat anak angkat oleh Rasulullah. Ia sangat
disayangi dan dipenuhi segala kebutuhannya. Saat diangkat menjadi anak angkat
Rasulullah, namanya diganti menjadi Zaid ibn Muhammad, namun dengan turunnya
Surah Al Ahzab ayat 4, 5 dan 40, namanya dikembalikan menjadi Zaid ibn
Haritsah.
Karena kecintaannya kepada Zaid, Rasulullah berniat menikahkannya dengan
puteri bibi beliau yaitu Zainab bint Jahsy dengan maksud untuk menghapus sekat
pembeda kasta maupun status sosial. Rasulullah ingin menegaskan bahwa didalam
Islam tidak membedakan sesama muslim, kecuali tingkat ketakwaan dan amal
shalehnya.
Zainab dikenal seorang puteri yang cantik, memiliki garis keturunan
bangsawan, cucu Abdul Muthalib pemuka Quraisy dan saudagar, disamping itu dia
sangat dermawan. Mendengar dirinya akan dinikahkan dengan Zaid yang bekas
budak, Zainab sangat kaget dan memandang dirinya tidak pantas untuk bersanding
dengan seorang bekas budak serta akan disejajarkan dengan isteri pertama Zaid,
yaitu Ummu Aiman yang sama-sama budak belian. Apa yang akan dikatakan orang...?
Seorang puteri bangsawan bersanding dengan seorang bekas budak belian.
Menurutnya belum pernah ada sejarah kaum ningrat menikah dengan budak atau
pembantu. Pantasnya dia dinikahkan dengan laki-laki yang sederajat. Karena itu
dia menolak tawaran Rasulullah.
Sebenarnya apa yang diinginkan Zainab bisa saja terjadi, tetapi kehendak
Allah tidaklah sama. Allah berfirman:
“Wa maa kaana limu’minati idzaaqadallaahu wa rasuuluhuu amran ayyakuuna
lahumulkhiyaratu min amrihim. wa mayya’shillaaha wa rasuulahuu faqad dhalla
dhalaalammubiinaa”.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata”.
~ QS
33 – Al Ahzab : 36 ~
Akhirnya untuk menyenangkan Rasulullah dan takut di cap durhaka, maka
Zainab mau dinikahkan dengan Zaid meskipun hatinya tidak sepenuhnya bisa
menerima kenyataan itu.
Zaid sudah berusaha sekuat mungkin untuk membahagiakan Zainab, tetapi hati
isterinya tetap congkak dan sombong pada suaminya serta masih menganggap
suaminya adalah budak. Konflik rumah tangga makin meruncing dan keutuhan rumah
tangga mulai tercabik-cabik dengan sering terlontarnya kata-kata yang tidak
pantas dari Zainab untuk melukai kelelakian dan menyakiti perasaan Zaid.
Rasulullah sudah berusaha keras mendamaikan mereka. Beliau minta Zaid untuk
bersabar juga menasihati Zainab agar tunduk pada suami dan tidak sombong.
Jurang perselisihan antara Zaid dan Zainab semakin menganga lebar,
mengeruhkan samudera hati berdua. Kepada Rasulullah Zaid mengemukakan
keinginannya untuk menceraikan isterinya, tapi beliau meminta Zaid untuk
bersabar mempertahankannya. Akhirnya rumah tangga mereka sulit dipertahankan
dan Zaid menceraikan Zainab.
Karena merasa bertanggung jawab atas anak pamannya itu yang dulu dipaksa
untuk menikah dengan Zaid, Rasulullah berfikir untuk menikahi Zainab, tapi hal
ini bisa menjadi desas desus yang tidak mengenakkan. Apa kata orang jika beliau
diketahui menikahi mantan isteri anak angkatnya...? Maka keinginan beliau itu
disimpan dihati yang dalam, sampai Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat:
“Wa idztaquulu lilladzii an’amallaahu ‘alaihi wa an’amta ‘alaihi amsik
‘alaika zaujaka wattaqillaaha watukhfii fii nafsika mallaahu mubdiihi
watakhsyannaasa. Wallaahu ahaqqu an takhsyaahu. Falammaa qadhaa zaidumminhaa
watharaa. Zawwajnaakahaa likai laa yakuuna ‘alalmu’miniina harajun fii azwaaji
ad’ibaa ihim idzaa qadau minhunna watharaa. Wa kaana amrullaahi maf’uulaa”.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan ni’mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni’mat kepadanya:
‘Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah’, sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila
anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. ~ QS 33 – Al Ahzab : 37 ~
Akhirnya Rasulullah menikahi Zainab yang dirayakan dengan menggelar pesta
meriah. Pernikahan Rasulullah dengan Zainab ini bukanlah semata-mata karena
dorongan biologis pada diri Rasulullah, atau hasrat merajut cinta diantara
mereka. Tapi Allah Subhanahu wa ta’ala sengaja menginginkan pernikahan tersebut
untuk mengajarkan sebuah Kaidah Fiqih dalam Islam, yaitu seseorang
diperbolehkan menikahi mantan isteri anak angkatnya.
Kedudukan anak angkat dalam Islam tidak sama dengan anak kandung yang
terkait dengan garis keturunan dan aturan waris. Anak angkat tidak lebih dari
orang lain yang dipelihara, disayangi dan dipenuhi kebutuhannya seperti kepada
anaknya sendiri.
Zainab hidup bersama Rasulullah, sebagaimana isteri-isteri Rasulullah yang
lain, namun bagi Zainab pernikahan ini merupakan kebanggaan, karena dia
dinikahkan oleh ketentuan Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana Rasulullah
sabdakan: ‘Semoga Allah merahmati Zainab bint Jahsy. Di dunia ini telah
menerima kehormatan yang tiada duanya, yaitu bahwa Allah menikahkanku
dengannya’.
Ditengah kemeriahan pesta, sesuatu terjadi... Karena begitu banyak orang
yang bersuka cita, otomatis mereka hilir mudik di rumah Rasulullah. Suasana
seperti ini tentu saja membuat Rasulullah dan isterinya tidak nyaman dan sulit
bagi Rasulullah untuk mencegahnya. Akhirnya beliau sendiri yang mengungsi.
Pada saat itu Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat:
“Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa tadkhuluu buyuutannabiyyi illaa
ayyu’dzanalakum ilaa tha’aamin ghairanaadhiriina inaahu walaakin idzaadu’iitum
fadkhuluu faidzaa tha’imtum fantasyiruu wa laa musta’nisiina lihidiits. Innadzaalikum
kaanayu’dzinnabiyya fayastahyii minkum. Wallaahu laa yastahyii minalhaq.
Waidzaasa altumuu hunna mataa’an fas aluuhunna miwwaraa i hijaab. Dzaalikum
athharu liquluubikum wa quluu bihinn. Wa maa kaana lakum an tu’dzuu
rasuulallaahi wa laa an tankihuu azwaajahuu mim ba’dihii abadaa. Inna dzaalikum
kaana ‘indallaahi ‘adhiimaa.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu
masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
demikian itu akan mengganggu Nabi
sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak
malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu
menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi isteri-isterinya
selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat
besar (dosanya) disisi Allah”. ~ QS
33 – Al Ahzab : 53 ~
Ayat
ini pula mengharuskan isteri-isteri Rasulullah untuk mengenakan hijab dan
melarang menikahi mantan isteri Rasulullah kelak setelah beliau wafat.
No comments:
Post a Comment