Friday, January 18, 2019

Sejarah Nabi Muhammad: Wahyu Pertama yang Menggetarkan

0 Comments

Sejarah Nabi Muhammad : Yatim Piatu sejak Usia Enam Tahun


Sejarah Nabi Muhammad (1): Yatim Piatu sejak Usia Enam Tahun
Kenabian dan kerasulan adalah karunia yang agung dari Allah yang diberikan kepada seseorang yang telah dipilihnya, tidak bisa dicapai dengan usaha manusia. Allah yang menentukan kepada siapa anugerah itu diberikan, kapan disampaikannya dan siapapula yang diberi kesanggupan oleh-Nya untuk menerima karunia itu.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia berkebangsaan Arab yang dipilih oleh Allah untuk menerima anugerah yang agung itu. Ia dijadikan-Nya sebagai penutup segala nabi dan rasul, dengan membawa syariat yang sempurna yang bersifat kekal dan abadi. Ajarannya berlaku untuk semua umat manusia dalam berbagai ras, bangsa dan warna kulit. Ia merupakan risalah agama yang sempurna yang membangun peradaban yang tinggi bagi seluruh umat manusia. Sebelum kelahiran Nabi Muhammad, keadaan bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain diliputi oleh kebodohan dan kejahilan. Mereka adalah bangsa yang menganut paganisme, penyembah patung dan berhala, padahal nenek moyang mereka berasal dari pengikut ajaran tauhid yang disampaikan oleh Nabi Ismail ‘alaihissalam. Suasana keberhalaan dan kemusyrikan sudah menyatu dan mendarah daging pada jiwa mereka. Sehingga Masjidil Haram yang suci itu menjadi ternoda dengan bergelantungnya berhala-berhala dan patung.

Di sekeliling Ka’bah yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram ada kurang lebih 360 patung dan berhala yang mereka sembah. Setiap suku memiliki patung tersendiri sebagai sembahan dan perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan seperti itu telah mengotori Masjid dan kesucian Ka’bah dalam menjalani pelaksanaan ibadah yang murni kepada Allah. Kaum musyrikin menjadikan patung-patung itu sebagai Tuhan-tuhan mereka. Untuk patung-patung itu hewan dikurbankan dan nadzar ditunaikan, mereka memberikan ketaatan yang total pada patung-patung itu. Keadaaan seperti itulah yang mereka jalani meskipun apabila mereka ditanya “Siapa Tuhan yang mereka sembah”. Mereka menjawab “Tuhan kami adalah Allah, kami tidak menyembah patung-patung itu kecuali hanya perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan taqarub yang amat dekat” (QS. Al-Zumar, 39: 3).

Dalam suasana yang sangat kacau penuh kesesatan yang disebut zaman jahiliyyah itu, terjadilah pernikahan agung, antara Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim al-Quraisyi dengan Aminah binti Wahab. Dari pernikahan yang mulia itu, Allah menakdirkan lahirnya manusia yang paling agung dalam sejarah dunia, yaitu Nabi Besar Muhammad pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M. Ketika Nabi masih berada dalam kandungan ibunya. Pada suatu saat ibundanya Siti Aminah, melihat cahaya yang terang benderang dari dirinya dan menerangi istana Kisra di negeri Syam. Ayah Nabi Muhammad Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib meningal dunia ketika beliau masih ada dalam kandungan ibunya.

(Baca juga: Benarkah Orang Tua Nabi Muhammad SAW Penghuni Neraka?)
Beberapa bulan setelah itu berbahagialah Sayyidah Aminah ibunda Nabi Muhammad dan Abdul Mutahalib, kakeknya atas kelahirannya yang diberi nama Muhammad, karena ia akan menjadi orang yang sangat terpuji di masa yang akan datang. Inilah manusia yang paling agung dan paling berpengaruh dalam sejarah kemanusiaan. Petunjuk telah lahir dan alam pun telah menjadi terang bercahaya. Zaman menyambut kelahirannya dengan senyum ceria. Muhammad kecil dipelihara oleh ibunya dan kemudian disusukan kepada Halimah al-Sa’diyah kaum Bani Sa’ad dari Bani Zuhrah sampai susuannya berakhir, kemudian kembali kepangkuan ibundanya atas tanggungan kakeknya Abdul Muthalib.

Ketika umur beliau mencapai usia 6 tahun, ketika ia mulai menanyakan ayahnya kepada ibundanya yang amat dicintainya, sampailah informasi padanya tentang kewafatan ayahnya. Ketika ia masih berada dalam kandungan, maka ia pun sadar bahwa dirinya adalah anak yatim. Pada usia itu beliau diajak ibundanya Aminah untuk berziarah ke Yastrib mengunjungi saudar-saudara kakeknya dari keluarga Najjar. Perjalanan ke Yatsrib ditemani Ummu Aiman seorang pembantu wanita yang disiapkan Abdullah sebelum beliau wafat. Sampai di Madinah, Muhammad kecil diajak berziarah ke suatu rumah tempat ayahnya dahulu meninggal, serta berziarah ke tempat kuburan ayahnya. Suasana itu dirasakan begitu berat dan mengharukan, apalagi bagi Muhammad kecil yng telah menjadi yatim. (Husein Haikal, 1998: 54).

(Baca juga: Kisah Masa Kecil Rasulullah dan Ibunya)
Setelah beberapa lama tinggal di Madinah, Aminah, Muhammad, dan Ummu Aiman bersiap-siap untuk pulang ke Makkah. Dalam perjalanan pulang, ketika mereka sampai di kampung Abwa’, ibunda Aminah merasa sakit, yang kemudian meninggal dunia dan dikuburkan di tempat itu juga. Muhammad kecil kembali menghadapi cobaan yang sangat berat, ibarat luka belum sembuh karena ditinggalkan ayahahandanya, tergores luka baru dengan wafatnya ibunda yang sangat dicintainya. Muhammad kini menjadi seorang yang yatim dan piatu dalam usia 6 tahun. Kemudian Ummu Aiman membawanya pulang ke Makkah. Anak itu pulang sambil menangis dengan hati yang perih, hidup sebatang kara. Baru beberapa hari yang lalu ia menyaksikan rumah tempat ketika ayahnya wafat dan kuburan ayahnya, kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibundanya pergi, wafat tidak kembali untuk selama-lamanya. 

Anak yang masih amat kecil itu mendapat cobaan yang sangat berat, memikul beban hidup yang memilukan, sebagai seorang anak yang yatim dan piatu. Dua tahun setelah beliau berada dalam asuhan dan bimbingan kakeknya Abdul Muthalib pun wafat. Sebelum meninggal dunia, Abdul Muthalib menyerahkan cucunya kepada anaknya yang sekaligus paman Nabi, yaitu Abu Thalib. Kemudian merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ketika di Makkah Muhammad kecil dipelihara kakeknya Abdul Muthalib. Kakeknya sangat mencintainya, ia memeliharannya dengan penuh kasih sayang, sungguhpun demikian, peristiwa sedih sebagai anak yatim piatu itu bekasnya masih mendalam sekali pada jiwanya, sehingga dalam al-Qur’an disebutkan: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (QS. al-Dhuha, 93: 6).


Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, Rais Syuriyah PBNU

Sejarah Nabi Muhammad (1): Yatim Piatu sejak Usia Enam Tahun
Kenabian dan kerasulan adalah karunia yang agung dari Allah yang diberikan kepada seseorang yang telah dipilihnya, tidak bisa dicapai dengan usaha manusia. Allah yang menentukan kepada siapa anugerah itu diberikan, kapan disampaikannya dan siapapula yang diberi kesanggupan oleh-Nya untuk menerima karunia itu.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia berkebangsaan Arab yang dipilih oleh Allah untuk menerima anugerah yang agung itu. Ia dijadikan-Nya sebagai penutup segala nabi dan rasul, dengan membawa syariat yang sempurna yang bersifat kekal dan abadi. Ajarannya berlaku untuk semua umat manusia dalam berbagai ras, bangsa dan warna kulit. Ia merupakan risalah agama yang sempurna yang membangun peradaban yang tinggi bagi seluruh umat manusia. Sebelum kelahiran Nabi Muhammad, keadaan bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain diliputi oleh kebodohan dan kejahilan. Mereka adalah bangsa yang menganut paganisme, penyembah patung dan berhala, padahal nenek moyang mereka berasal dari pengikut ajaran tauhid yang disampaikan oleh Nabi Ismail ‘alaihissalam. Suasana keberhalaan dan kemusyrikan sudah menyatu dan mendarah daging pada jiwa mereka. Sehingga Masjidil Haram yang suci itu menjadi ternoda dengan bergelantungnya berhala-berhala dan patung.

Di sekeliling Ka’bah yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram ada kurang lebih 360 patung dan berhala yang mereka sembah. Setiap suku memiliki patung tersendiri sebagai sembahan dan perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan seperti itu telah mengotori Masjid dan kesucian Ka’bah dalam menjalani pelaksanaan ibadah yang murni kepada Allah. Kaum musyrikin menjadikan patung-patung itu sebagai Tuhan-tuhan mereka. Untuk patung-patung itu hewan dikurbankan dan nadzar ditunaikan, mereka memberikan ketaatan yang total pada patung-patung itu. Keadaaan seperti itulah yang mereka jalani meskipun apabila mereka ditanya “Siapa Tuhan yang mereka sembah”. Mereka menjawab “Tuhan kami adalah Allah, kami tidak menyembah patung-patung itu kecuali hanya perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan taqarub yang amat dekat” (QS. Al-Zumar, 39: 3).

Dalam suasana yang sangat kacau penuh kesesatan yang disebut zaman jahiliyyah itu, terjadilah pernikahan agung, antara Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim al-Quraisyi dengan Aminah binti Wahab. Dari pernikahan yang mulia itu, Allah menakdirkan lahirnya manusia yang paling agung dalam sejarah dunia, yaitu Nabi Besar Muhammad pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M. Ketika Nabi masih berada dalam kandungan ibunya. Pada suatu saat ibundanya Siti Aminah, melihat cahaya yang terang benderang dari dirinya dan menerangi istana Kisra di negeri Syam. Ayah Nabi Muhammad Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib meningal dunia ketika beliau masih ada dalam kandungan ibunya.

(Baca juga: Benarkah Orang Tua Nabi Muhammad SAW Penghuni Neraka?)
Beberapa bulan setelah itu berbahagialah Sayyidah Aminah ibunda Nabi Muhammad dan Abdul Mutahalib, kakeknya atas kelahirannya yang diberi nama Muhammad, karena ia akan menjadi orang yang sangat terpuji di masa yang akan datang. Inilah manusia yang paling agung dan paling berpengaruh dalam sejarah kemanusiaan. Petunjuk telah lahir dan alam pun telah menjadi terang bercahaya. Zaman menyambut kelahirannya dengan senyum ceria. Muhammad kecil dipelihara oleh ibunya dan kemudian disusukan kepada Halimah al-Sa’diyah kaum Bani Sa’ad dari Bani Zuhrah sampai susuannya berakhir, kemudian kembali kepangkuan ibundanya atas tanggungan kakeknya Abdul Muthalib.

Ketika umur beliau mencapai usia 6 tahun, ketika ia mulai menanyakan ayahnya kepada ibundanya yang amat dicintainya, sampailah informasi padanya tentang kewafatan ayahnya. Ketika ia masih berada dalam kandungan, maka ia pun sadar bahwa dirinya adalah anak yatim. Pada usia itu beliau diajak ibundanya Aminah untuk berziarah ke Yastrib mengunjungi saudar-saudara kakeknya dari keluarga Najjar. Perjalanan ke Yatsrib ditemani Ummu Aiman seorang pembantu wanita yang disiapkan Abdullah sebelum beliau wafat. Sampai di Madinah, Muhammad kecil diajak berziarah ke suatu rumah tempat ayahnya dahulu meninggal, serta berziarah ke tempat kuburan ayahnya. Suasana itu dirasakan begitu berat dan mengharukan, apalagi bagi Muhammad kecil yng telah menjadi yatim. (Husein Haikal, 1998: 54).

(Baca juga: Kisah Masa Kecil Rasulullah dan Ibunya)
Setelah beberapa lama tinggal di Madinah, Aminah, Muhammad, dan Ummu Aiman bersiap-siap untuk pulang ke Makkah. Dalam perjalanan pulang, ketika mereka sampai di kampung Abwa’, ibunda Aminah merasa sakit, yang kemudian meninggal dunia dan dikuburkan di tempat itu juga. Muhammad kecil kembali menghadapi cobaan yang sangat berat, ibarat luka belum sembuh karena ditinggalkan ayahahandanya, tergores luka baru dengan wafatnya ibunda yang sangat dicintainya. Muhammad kini menjadi seorang yang yatim dan piatu dalam usia 6 tahun. Kemudian Ummu Aiman membawanya pulang ke Makkah. Anak itu pulang sambil menangis dengan hati yang perih, hidup sebatang kara. Baru beberapa hari yang lalu ia menyaksikan rumah tempat ketika ayahnya wafat dan kuburan ayahnya, kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibundanya pergi, wafat tidak kembali untuk selama-lamanya. 

Anak yang masih amat kecil itu mendapat cobaan yang sangat berat, memikul beban hidup yang memilukan, sebagai seorang anak yang yatim dan piatu. Dua tahun setelah beliau berada dalam asuhan dan bimbingan kakeknya Abdul Muthalib pun wafat. Sebelum meninggal dunia, Abdul Muthalib menyerahkan cucunya kepada anaknya yang sekaligus paman Nabi, yaitu Abu Thalib. Kemudian merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ketika di Makkah Muhammad kecil dipelihara kakeknya Abdul Muthalib. Kakeknya sangat mencintainya, ia memeliharannya dengan penuh kasih sayang, sungguhpun demikian, peristiwa sedih sebagai anak yatim piatu itu bekasnya masih mendalam sekali pada jiwanya, sehingga dalam al-Qur’an disebutkan: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (QS. al-Dhuha, 93: 6).

Sejarah Nabi Muhammad: Wahyu Pertama yang Menggetarkan


Sejarah Nabi Muhammad (2): Wahyu Pertama yang Menggetarkan
Dalam asuhan pamannya inilah Muhammad kecil tumbuh dewasa, anak yang membawa petunjuk telah menjadi seorang pemuda, berbekal kebenaran dan memancarkan cahaya. Dalam genggaman tangannya terdapat pelita hikmah, lisannya berisi berita gembira, dalam sorotan matanya tampak kesungguhan nyata, wajahnya bersinar menjanjikan kebahagiaan, dalam darahnya mengalir jiwa kepahlawanan sejati, menentang setiap kecongkakan dan keangkuhan. Kaum Quraisy mengenalnya dengan pengenalan yang sangat dalam, dia disebut al-Amin (orang yang jujur), dan semua Kabilah Arab telah rela memilihnya sebagai hakim dalam peletakkan Hajar aswad di Baitullah. 

(Baca juga: Sejarah Nabi Muhammad (1): Yatim Piatu sejak Usia Enam Tahun)
Setelah beranjak dewasa, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam nikah dengan seorang saudagar wanita kaya raya, bernama Khadijah binti Khuwailid. Dari pernikahan ini beliau dikarunia beberapa anak laki-laki dan perempuan, meskipun anak laki-lakinya wafat di masa kanak-kanak. Sejak sebelum menikah, Muhammad adalah seorang pria yang sering merenung, dan berpikir, kontemplasi (olah spritual), memikirkan fenomena alam dan lingkungan sekitarnya di tempat yang jauh dari keramaian.

Beliau berdoa kepada Tuhan agar menemukan sesuatu yang mencerahkan dirinya dan kaumnya. Kita mengetahui dari kariernya di belakang hari, bahwa Muhammad sangat prihatin akan keruntuhan moral yang sangat mengkhawatirkan di Makkah. Kebiasaan ini terus berlanjut setelah beliau menikah. Bahkan pada bulan Ramadhan, hal itu lebih ditingkatkannya lagi, disertai dengan membagikan makanan dan sedekah kepada fakir miskin yang membutuhkan. Hingga pada suatu malam di bulan Ramadhan, tahun 610 M, di sudut gua Hira, beliau dikejutkan oleh turunnya wahyu yang pertama dari Allah, sebagaimana hadits berikut ini:

Dari Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu ‘anha, ia berkata: “Permulaan wahyu yang diterima oleh Rasulullah adalah ar-ru’ya ash-shalihah (mimpi yang baik) dalam tidur. Biasanya mimpi yang dilihatnya itu jelas laksana cuaca pagi. Kemudian beliau jadi senang menyendiri; lalu menyendiri di gua Hira untuk bertahannuts. Beliau bertahannuts, yaitu beribadah di sana beberapa malam, dan tidak pulang ke rumah isterinya. Dan untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang kepada Khadijah, dan di bawahnya pula perbekalan untuk keperluan itu, sehingga datang kepada beliau Al-Haqq (kebenaran, wahyu) pada waktu beliau berada di gua Hira. Maka datanglah kepada beliau malaikat dan berkata, “Bacalah!” Jawab beliau, “Aku tidak bisa membaca.” Nabi bercerita, “Lalu malaikat itu menarikku dan memelukku erat-erat sehingga aku kepayahan. 

(Baca juga: Detik-detik Menegangkan Nabi dan Abu Bakar di Gua Tsur)
Kemudian ia melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!” dan aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Aku lalu ditarik dan dipeluknya kembali kuat-kuat hingga habislah tenagaku. Seraya melepaskanku, ia berkata lagi, “Bacalah!” Aku kembali menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian untuk ketiga kalinya ia menarik dan memelukku sekuat-kuatnya, lalu seraya melepaskanku ia berkata, 

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ 

(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan; (2) Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah; (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah; (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena); (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-Alaq, 96:1-5)

Kemudian Nabi pulang ke rumah istrinya, Khadijah binti Khuwailid dengan hati gemetar ketakutan. Beliau memohon kepadanya, “Selimutilah aku!” Mereka menyelimuti beliau hingga hilanglah ketakutannya. Kemudian beliau bercerita kepada Khadijah, setelah diceritakannya apa yang baru dialaminya,ia berkata: “Sesungguhnya aku mencemaskan diriku.” Khadijah berkata, “Sama sekali tidak. Demi Allah, Allah selamanya tidak akan menghinakan engkau. Sesungguhnya engkaulah orang yang selalu menyambung tali persaudaraan, selalu menanggung orang yang kesusahan, selalu mengusahakan apa yang diperlukan, selalu menghormati tamu dan membantu derita orang yang membela kebenaran.” 

Selanjutnya Khadijah pergi membawa beliau menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Arab pemeluk agama Nasrani di zaman Jahiliyah. Ia pandai menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia pun menulis Injil dengan bahasa Ibrani. Ia seorang tua yang buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah cerita anak saudaramu ini. Waraqah bertanya kepada Nabi, “Wahai anak saudaraku, apakah yang kaulihat?”

Lalu beliau menceritakan apa yang beliau lihat dan alami di Gua Hira’. Kemudian Waraqah berkata lagi kepada beliau, “Itulah Namus (Jibril) yang pernah diutus Allah kepada Musa. Mudah-mudahan aku masih hidup di saat engkau diusir kaummu!” Maka Rasulullah bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Ia menjawab, “Ya, sebab setiap orang yang membawa seperti apa yang engkau bawa pasti dimusuhi orang. Jadi kelak engkau mengalami masa-masa seperti itu, dan jika aku masih hidup, aku pasti akan menolongmu sekuat tenagaku.” Tidak lama kemudian, Waraqah meninggal dan wahyu pun putus untuk sementara (fatrah al-wahy).

Menurut Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdirrahman, Jabir bin Abdillah al-Anshari menceritakan tentang terhentinya wahyu tersebut, bahwa Rasulullah bersabda: 

بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

“Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari atas, maka aku lihat ada malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hira, sedang duduk di atas kursi di antara langit dan bumi, maka takutlah aku padanya. Lalu aku pulang seraya berkata, “Selimutilah aku!” Lalu turunlah wahyu: 

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنذِرْ. وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ. وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah (manusia) peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu sucikanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah!” (QS. al-Muddatsir, 74 :1-5). 

Sesudah itu, wahyu pun turun terus-menerus.” (HR. Bukhari: 02, Muslim: 232). Pada wahyu yang kedua inilah, di usianya yang keempat puluh tahun, Muhammad diangkat sebagai Rasul, utusan Tuhan untuk membenahi tatanan umat manusia secara keseluruhan. Dalam hadits lainnya, diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra., bahwa Harits bin Hisyam r.a. telah bertanya kepada Rasulullah Katanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana cara wahyu datang kepada engkau?” Beliau menjawab:

أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا

“Kadang-kadang wahyu datang kepadaku seperti suara lonceng, itulah yang paling berat bagiku. Kemudian ia berhenti, dan aku sudah mengerti apa yang dikatakannya. Kadang-kadang malaikat datang kepadaku sebagai laki-laki, lalu ia berkata, maka aku mengerti apa yang diucapkannya.” Aisyah r.a. berkata: “Sungguh saya melihat wahyu turun kepada Nabi pada hari yang sangat dingin, lalu wahyu itu berhenti, dari kening beliau mengalir keringat.” (HR. Bukhari: 02, Muslim: 4304).

Yang dimaksud dengan ungkapan “seperti suara lonceng” ialah seperti bunyi lonceng besi yang gemerincing terdengar terus-menerus, bunyi yang bukan perkataan yang tersusun dari huruf-huruf. Wahyu melalui bentuk seperti ini, menunjukkan – menurut pendapat yang paling kuat – hadirnya malaikat. Dan kehadiran malaikat (yang menyampaikan wahyu) semacam inilah yang paling berat dirasakan Nabi dibanding kehadirannya dalam bentuk lain (sebagai seorang pria). Hal ini dapat dimengerti, sebab – sebagaimana dijelaskan oleh Filosof Ibnu Khaldun – pada saat itu terjadi suatu proses di mana kemanusiaan (Nabi) yang bersifat materi (jasmaniyah) lepas terkelupas sama sekali untuk kontak dengan alam malaikat yang bersifat rohani (ruhaniyah).(Rasyid Ridha, 1984: 185). Orang-orang yang pertama kali masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun); Dari kalangan perempuan adalah istri Nabi sendiri yaitu Khadijah binti Khuwailid, dari kalangan pemuda yaitu Ali bin Abi Thalib, sedangkan dari kalangan pria dewasa adalah Abu Bakar bin Abi Quhafa, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, dan masih banyak lagi yang lain, dari penduduk Makkah yang memeluk Islam. Mereka memilih Islam sebagai jalan hidup dengan tulus dan ikhlas. 

Hari demi hari, dari waktu ke waktu, pengikut Nabi bertambah banyak. Mereka yang sudah Islam itu datang kepada beliau untuk menyatakan keislaman mereka sekaligus siap menerima ajaran-ajarannya. Gerak-gerik mereka itu tercium oleh kaum Quraisy yang ketika itu memegang otoritas penuh sebagai suku yang berkuasa di Makkah. Lebih-lebih setelah diketahui bahwa para pengikut Muhammad itu sangat membenci berhala-berhala dan dewa-dewa yang mereka sembah. Akhirnya, kaum paganisme ini mengobarkan api permusuhan kepada siapa saja yang masuk Islam. Akan tetapi, tumbuhnya agama Islam di perbukitan kota Makkah tidak dapat dibendung. Keimanan yang teguh dan keyakinan yang kuat menjadikan para pengikut Rasulullah rela berkorban demi mempertahankan agamanya. Hal itu membuat kaum musyrik Quraisy semakin membenci Muhammad dan ajarannya. Mereka mengira bahwa kata-kata Muhammad itu tidak lebih dari kata-kata pendeta atau filosof seperti Quss, Umayya, Waraqa, dan yang lain. Mereka sama sekali tidak menghiraukannya. 

Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah datang supaya Muhammad mengumumkan ajaran Islam yang masih disebarkan secara sembunyi-bunyi itu, bersamaan dengan turunnya wahyu:

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (214) وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (215) فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Syu’ara, 26: 214-216)

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. al-Hijr, 15: 94)
Salah satu faktor yang mendongkrak perkembangan agama Islam secara pesat ini adalah keteledanan dari Nabi sendiri. Beliau sosok yang berbaik hati dan penuh kasih sayang. Beliau sangat rendah hati, berani membela yang benar, dan berperilaku sopan santun kepada sesamanya. Tutur kata beliau lemah lembut, selalu jujur dan berlaku adil kepada setiap orang. Tidak ada hak orang lain yang beliau langgar. Pandangan beliau terhadap orang yang lemah, miskin, papa, dan anak-anak yatim piatu, adalah bagaikan pandangan seorang bapak kepada anaknya sendiri yang penuh kasih sayang, lemah lembut, dan mesra. Itu semua menjadikan grand point untuk beliau dalam menjalankan misinya. (Husein Haikal, 1984:94-102).


Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, Rais Syuriyah PBNU

Sejarah Nabi Muhammad (2): Wahyu Pertama yang Menggetarkan
Dalam asuhan pamannya inilah Muhammad kecil tumbuh dewasa, anak yang membawa petunjuk telah menjadi seorang pemuda, berbekal kebenaran dan memancarkan cahaya. Dalam genggaman tangannya terdapat pelita hikmah, lisannya berisi berita gembira, dalam sorotan matanya tampak kesungguhan nyata, wajahnya bersinar menjanjikan kebahagiaan, dalam darahnya mengalir jiwa kepahlawanan sejati, menentang setiap kecongkakan dan keangkuhan. Kaum Quraisy mengenalnya dengan pengenalan yang sangat dalam, dia disebut al-Amin (orang yang jujur), dan semua Kabilah Arab telah rela memilihnya sebagai hakim dalam peletakkan Hajar aswad di Baitullah. 

(Baca juga: Sejarah Nabi Muhammad (1): Yatim Piatu sejak Usia Enam Tahun)
Setelah beranjak dewasa, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam nikah dengan seorang saudagar wanita kaya raya, bernama Khadijah binti Khuwailid. Dari pernikahan ini beliau dikarunia beberapa anak laki-laki dan perempuan, meskipun anak laki-lakinya wafat di masa kanak-kanak. Sejak sebelum menikah, Muhammad adalah seorang pria yang sering merenung, dan berpikir, kontemplasi (olah spritual), memikirkan fenomena alam dan lingkungan sekitarnya di tempat yang jauh dari keramaian.

Beliau berdoa kepada Tuhan agar menemukan sesuatu yang mencerahkan dirinya dan kaumnya. Kita mengetahui dari kariernya di belakang hari, bahwa Muhammad sangat prihatin akan keruntuhan moral yang sangat mengkhawatirkan di Makkah. Kebiasaan ini terus berlanjut setelah beliau menikah. Bahkan pada bulan Ramadhan, hal itu lebih ditingkatkannya lagi, disertai dengan membagikan makanan dan sedekah kepada fakir miskin yang membutuhkan. Hingga pada suatu malam di bulan Ramadhan, tahun 610 M, di sudut gua Hira, beliau dikejutkan oleh turunnya wahyu yang pertama dari Allah, sebagaimana hadits berikut ini:

Dari Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu ‘anha, ia berkata: “Permulaan wahyu yang diterima oleh Rasulullah adalah ar-ru’ya ash-shalihah (mimpi yang baik) dalam tidur. Biasanya mimpi yang dilihatnya itu jelas laksana cuaca pagi. Kemudian beliau jadi senang menyendiri; lalu menyendiri di gua Hira untuk bertahannuts. Beliau bertahannuts, yaitu beribadah di sana beberapa malam, dan tidak pulang ke rumah isterinya. Dan untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang kepada Khadijah, dan di bawahnya pula perbekalan untuk keperluan itu, sehingga datang kepada beliau Al-Haqq (kebenaran, wahyu) pada waktu beliau berada di gua Hira. Maka datanglah kepada beliau malaikat dan berkata, “Bacalah!” Jawab beliau, “Aku tidak bisa membaca.” Nabi bercerita, “Lalu malaikat itu menarikku dan memelukku erat-erat sehingga aku kepayahan. 

(Baca juga: Detik-detik Menegangkan Nabi dan Abu Bakar di Gua Tsur)
Kemudian ia melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!” dan aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Aku lalu ditarik dan dipeluknya kembali kuat-kuat hingga habislah tenagaku. Seraya melepaskanku, ia berkata lagi, “Bacalah!” Aku kembali menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian untuk ketiga kalinya ia menarik dan memelukku sekuat-kuatnya, lalu seraya melepaskanku ia berkata, 

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ 

(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan; (2) Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah; (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah; (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena); (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-Alaq, 96:1-5)

Kemudian Nabi pulang ke rumah istrinya, Khadijah binti Khuwailid dengan hati gemetar ketakutan. Beliau memohon kepadanya, “Selimutilah aku!” Mereka menyelimuti beliau hingga hilanglah ketakutannya. Kemudian beliau bercerita kepada Khadijah, setelah diceritakannya apa yang baru dialaminya,ia berkata: “Sesungguhnya aku mencemaskan diriku.” Khadijah berkata, “Sama sekali tidak. Demi Allah, Allah selamanya tidak akan menghinakan engkau. Sesungguhnya engkaulah orang yang selalu menyambung tali persaudaraan, selalu menanggung orang yang kesusahan, selalu mengusahakan apa yang diperlukan, selalu menghormati tamu dan membantu derita orang yang membela kebenaran.” 

Selanjutnya Khadijah pergi membawa beliau menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Arab pemeluk agama Nasrani di zaman Jahiliyah. Ia pandai menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia pun menulis Injil dengan bahasa Ibrani. Ia seorang tua yang buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah cerita anak saudaramu ini. Waraqah bertanya kepada Nabi, “Wahai anak saudaraku, apakah yang kaulihat?”

Lalu beliau menceritakan apa yang beliau lihat dan alami di Gua Hira’. Kemudian Waraqah berkata lagi kepada beliau, “Itulah Namus (Jibril) yang pernah diutus Allah kepada Musa. Mudah-mudahan aku masih hidup di saat engkau diusir kaummu!” Maka Rasulullah bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Ia menjawab, “Ya, sebab setiap orang yang membawa seperti apa yang engkau bawa pasti dimusuhi orang. Jadi kelak engkau mengalami masa-masa seperti itu, dan jika aku masih hidup, aku pasti akan menolongmu sekuat tenagaku.” Tidak lama kemudian, Waraqah meninggal dan wahyu pun putus untuk sementara (fatrah al-wahy).

Menurut Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdirrahman, Jabir bin Abdillah al-Anshari menceritakan tentang terhentinya wahyu tersebut, bahwa Rasulullah bersabda: 

بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

“Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari atas, maka aku lihat ada malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hira, sedang duduk di atas kursi di antara langit dan bumi, maka takutlah aku padanya. Lalu aku pulang seraya berkata, “Selimutilah aku!” Lalu turunlah wahyu: 

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنذِرْ. وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ. وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah (manusia) peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu sucikanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah!” (QS. al-Muddatsir, 74 :1-5). 

Sesudah itu, wahyu pun turun terus-menerus.” (HR. Bukhari: 02, Muslim: 232). Pada wahyu yang kedua inilah, di usianya yang keempat puluh tahun, Muhammad diangkat sebagai Rasul, utusan Tuhan untuk membenahi tatanan umat manusia secara keseluruhan. Dalam hadits lainnya, diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra., bahwa Harits bin Hisyam r.a. telah bertanya kepada Rasulullah Katanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana cara wahyu datang kepada engkau?” Beliau menjawab:

أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا

“Kadang-kadang wahyu datang kepadaku seperti suara lonceng, itulah yang paling berat bagiku. Kemudian ia berhenti, dan aku sudah mengerti apa yang dikatakannya. Kadang-kadang malaikat datang kepadaku sebagai laki-laki, lalu ia berkata, maka aku mengerti apa yang diucapkannya.” Aisyah r.a. berkata: “Sungguh saya melihat wahyu turun kepada Nabi pada hari yang sangat dingin, lalu wahyu itu berhenti, dari kening beliau mengalir keringat.” (HR. Bukhari: 02, Muslim: 4304).

Yang dimaksud dengan ungkapan “seperti suara lonceng” ialah seperti bunyi lonceng besi yang gemerincing terdengar terus-menerus, bunyi yang bukan perkataan yang tersusun dari huruf-huruf. Wahyu melalui bentuk seperti ini, menunjukkan – menurut pendapat yang paling kuat – hadirnya malaikat. Dan kehadiran malaikat (yang menyampaikan wahyu) semacam inilah yang paling berat dirasakan Nabi dibanding kehadirannya dalam bentuk lain (sebagai seorang pria). Hal ini dapat dimengerti, sebab – sebagaimana dijelaskan oleh Filosof Ibnu Khaldun – pada saat itu terjadi suatu proses di mana kemanusiaan (Nabi) yang bersifat materi (jasmaniyah) lepas terkelupas sama sekali untuk kontak dengan alam malaikat yang bersifat rohani (ruhaniyah).(Rasyid Ridha, 1984: 185). Orang-orang yang pertama kali masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun); Dari kalangan perempuan adalah istri Nabi sendiri yaitu Khadijah binti Khuwailid, dari kalangan pemuda yaitu Ali bin Abi Thalib, sedangkan dari kalangan pria dewasa adalah Abu Bakar bin Abi Quhafa, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, dan masih banyak lagi yang lain, dari penduduk Makkah yang memeluk Islam. Mereka memilih Islam sebagai jalan hidup dengan tulus dan ikhlas. 

Hari demi hari, dari waktu ke waktu, pengikut Nabi bertambah banyak. Mereka yang sudah Islam itu datang kepada beliau untuk menyatakan keislaman mereka sekaligus siap menerima ajaran-ajarannya. Gerak-gerik mereka itu tercium oleh kaum Quraisy yang ketika itu memegang otoritas penuh sebagai suku yang berkuasa di Makkah. Lebih-lebih setelah diketahui bahwa para pengikut Muhammad itu sangat membenci berhala-berhala dan dewa-dewa yang mereka sembah. Akhirnya, kaum paganisme ini mengobarkan api permusuhan kepada siapa saja yang masuk Islam. Akan tetapi, tumbuhnya agama Islam di perbukitan kota Makkah tidak dapat dibendung. Keimanan yang teguh dan keyakinan yang kuat menjadikan para pengikut Rasulullah rela berkorban demi mempertahankan agamanya. Hal itu membuat kaum musyrik Quraisy semakin membenci Muhammad dan ajarannya. Mereka mengira bahwa kata-kata Muhammad itu tidak lebih dari kata-kata pendeta atau filosof seperti Quss, Umayya, Waraqa, dan yang lain. Mereka sama sekali tidak menghiraukannya. 

Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah datang supaya Muhammad mengumumkan ajaran Islam yang masih disebarkan secara sembunyi-bunyi itu, bersamaan dengan turunnya wahyu:

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (214) وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (215) فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Syu’ara, 26: 214-216)

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. al-Hijr, 15: 94)
Salah satu faktor yang mendongkrak perkembangan agama Islam secara pesat ini adalah keteledanan dari Nabi sendiri. Beliau sosok yang berbaik hati dan penuh kasih sayang. Beliau sangat rendah hati, berani membela yang benar, dan berperilaku sopan santun kepada sesamanya. Tutur kata beliau lemah lembut, selalu jujur dan berlaku adil kepada setiap orang. Tidak ada hak orang lain yang beliau langgar. Pandangan beliau terhadap orang yang lemah, miskin, papa, dan anak-anak yatim piatu, adalah bagaikan pandangan seorang bapak kepada anaknya sendiri yang penuh kasih sayang, lemah lembut, dan mesra. Itu semua menjadikan grand point untuk beliau dalam menjalankan misinya. (Husein Haikal, 1984:94-102).

No comments:

Post a Comment

 
back to top